Selasa, 19 Februari 2013

Seri Kisah Abu Nawas; "Raja Minta Mahkota dari Surga"

Pada hari itu, tidak seperti biasang Baginda Raja tiba-tiba ingin menyamar menjadi rakyat biasa.
Beliau ingin menyaksikan kehidupan di luar istana tanpa diketahui oleh siapa pun, termasuk istri dan anaknya.

Raja pun akhirnya keluar istana dengan berpakaian ala kadarnya layaknya seorang dari rakyat jelata.
Nah dalam perjalanan tersebut, beliau melihat kerumunan orang yang sedang mendengarkan ceramah.

Setelah Baginda mendekat, benar juga perkiraannya kalau ada seorang ulama sedang menyampaikan petuah mengenai alam barzah.
Tanpa disadari siapa pun, tiba-tiba ada seorang yang datang dan bergabung di situ.

Orang tersebut langsung melontar pertanyaan kepada sang ulama,
"Kami telah menyaksikan orang kafir pada suatu waktu dan mengintip kuburnya, akan tetapi kami tiada mendengar mereka berteriak dan tidak pula melihat penyiksaan-penyiksaan yang katanya sedang dialaminya.
Maka bagaimana cara membenarkan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang dilihat mata?"

Ulama itu berfikir sejenak kemudian berkata,
"Untuk mengetahui yang demikian itu harus dengan menggunakan panca indra yang lain.
Ingatkah kamu dengan orang yang sedang tidur?
Dia kadang kala bermimpi dalam tidurnya digigit ular, diganggu dan lain sebagainya.
Ia juga merasakan sakit dan takut dan keringat pun bercucuran.
Ia merasakan hal semacam itu seperti ketika tidak tidur, sedangkan engkaumyang duduk disebelahnya menyaksikan keadaannya seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Maka jika masalah mimpi yang remeh saja sudah tidak mampu mata untuk melihatnya, mungkinkah engkau bisa melihat apa yang terjadi di alam Barzah?"


Baginda Raja tertegun dengan penjelasan ulama itu.
Ulama itu melanjutkan kuliahnya dengan alam akhirat.
Dikatakan bahwa di surga tersedia hal-hal yang amat disukai nafsu, termasuk benda-benda.

Salah satu benda itu adalah Mahkota yang amat luar biasa indahnya dan tak ada yang lebih indah barang-barang di surga karena barangnya terbuat dari cahaya.
Saking indahnya maka satu mahkota jauh lebih baik dari dunia dan isinya.


Baginda Raja terkesan, dan beliau pulang kembali ke istana karena sudah tidak sabar lagi untuk menguji kemampuan Abu Nawas.
Abu Nawas pun dipanggil menghadap,
"Aku menginginkan engkau sekarang juga berangkat ke surga kemudian bawakan aku sebuah mahkota dari surga yang katanya tercipta dari cahaya itu.
Apakah engkau sanggup Abu Nawas?"

"Sanggup Paduka yang mulia," jawab Abu Nawas.
"Tetapi Baginda harus menyanggupi pula salah satu syarat yang akan hamba ajukan," pinta Abu Nawas.
"Sebutkan syarat itu," kata Baginda.

"Hamba mohon Baginda menyediakan pintunya agar hamba bisa memasukinya," kata Abu Nawas.
"Pintu apa?" tanya Baginda.
"Pintu alam akhirat," jawab Abu Nawas.
"Apa itu?" tanya Baginda lagi.

"Kiamat.Wahai Paduka yang mulia.Masing-masing alam mempunyai pintu.
Pintu alam dunia adalah liang peranakan ibu.
Pintu alam Barzah adalah kematian.
Pintu alam akhirat adalah kiamat.
Surga berada di alam akhirat, bila Baginda masih tetap menghendaki hamba mengambilkan sebuah mahkota di surga, maka dunia harus kiamat terlebih dahulu," jelas Abu Nawas.

Mendengar penjelasan Abu Nawas tersebut, Raja terdiam.
Dan di sela-sela kebingungan Baginda Raja Harun Al Rasyid tersebut, Abu Nawas bertanya lagi,
"Masihkah Baginda menginginkan mahkota dari surga?" tanya Abu Nawas.

Baginda Raja tidak menjawab.
Beliau terdiam seribu bahasa.
Sejenak kemudian Abu Nawas pun mohon diri karena Abu Nawas sudah tahu jawaban dari Baginda Raja.

Seri Kisah Abu Nawas;"Pura-pura Mati"

Pada suatu hari Abu Nawas mengajak Raja Haru Arrasyid pergi ke sebuah desa.
Sang Raja diminta menyamar sebagai rakyat biasa dan tidak boleh membawa pasukan karena ia akan menunjukkan potret nyata sebagian rakyat di kerajaan itu.

Tibalah keduanya di sebuah desa yang mayoritas penduduknya suka makan daging manusia.
Hingga akhirnya Abu Nawas dan Baginda Raja tertangkap oleh penduduk tersebut.
Mereka akan dibunuh lalu dagingnya akan di masak dan di makan.

Akan tetapi Abu Nawas akhirnya dilepaskan karena memiliki tubuh yang kurus dan kusam, sedangkan Sang Raja tetap ditahan karena gemuk dan kulitnya bersih.
Namun beruntung bagi Baginda, dalam sebuah kesempatan ia berhasil melepaskan diri dan lolos.
Namun demikian Raja Harun menaruh dendam kepada Abu Nawas dan berjanji akan menghukumnya.

Abu Nawas Pura-Pura Mati
Maka di suruhlah prajurit kerajaan untuk menagkap Abu Nawas di rumahnya.
Beruntung saat di datangi prajurit, Abu Nawas bersembunyi dan prajurit itu pulang ke istana dengan tangan hampa.

"Apa yang telah engkau lakukan sehingga prajurit kerajaan akan menangkapmu," kata istri Abu Nawas.
Abu Nawas pun akhirnya bercerita panjang lebar sebab adanya perintah penangkapannya itu.
Si istri gelisah, ia tahu bahwa raja akan menghukum suaminya dengan hukuman yang berat.

"Lalu apa yang akan kamu perbuat, tidak mungkin kamu bersembunyi,karena suatu saat prajurit istana akan datang lagi ke rumah ini untuk menagkapmu," ujar istrinya.
Wajah Abu Nawas sepintas nampak lesu.
Namun beberapa detik kemudian wajahnya mulai tersenyum, sepertinya ia baru saja menemukan ide yang cemerlang.

"Wahai istriku, aku akan pura-pura mati, menangislah dan berteriaklah kamu agar para tetangga yakin aku telah mati," kata Abu Nawas.
Si istrinya pun lantas melakukan perintah suaminya.
Ia tiba-tiba menangis dan berteriak sembari menyebut nama suaminya dan para tetengga pun berdatangan, mereka melihat tubuh tubuh Abu Nawas terbujur kaku di ranjangnya.
Mereka mengira Abu Nawas benar-benar mati.

Maka dengan cepat kabar kematian Abu Nawas tersebut tersebar ke penjuru negeri.
Bahkan Baginda tetap tidak percaya, ia meminta kepada prajurit untuk membawa mayat Abu Nawas ke istana.

Raja Bersumpah
Berangkatlah prajurit istana ke rumah duka dan membawa jasad Abu Nawas ke hadapan Raja.
Tubuh Abu Nawas yang sudah terbungkus kafan terbujur kaku di hadapan Raja.
Melihat pemandangan itu, kemarahan Raja menjadi luluh, Ia ikut sedih mengingat Abu Nawas banyak memberikan nasihat jitu kepadanya.
Bahkan di saat Sang Raja mendapat sedih, Abu Nawaslah yang sering menghiburnya.
Kesedihannya bertambah begitu mengetahui Abu Nawas mati setelah mendengar kemarahannya.

"Sungguh aku sedih, aku bersumpah, seandainya Allah SWT belum mencabut nyawa Abu Nawas, maka ia akan kuampuni dan akan kuberi hadiah atas pengabdiannya kepada kerajaan selama ini," tutur Raja di hadapan mayat Abu Nawas.

Mendengar sumpah atas nama Allah itu, Abu Nawas tiba-tiba bangun dan ia sendiri keluar dari kain kafan itu dan menagih janji Raja.

"Allah masih belum mentakdirkan aku untuk mati, maka sekarang mohon tepatilah janji Baginda!" kata Abu Nawas.

Tentu saja kejadian itu membuat seisi istana terperangah kaget.
Mereka tidak menyangka kalau Abu Nawas akan berpura-pura mati untuk mengelabuhi Raja.
Begitu pula Raja Harun, Ia tidak bisa lagi mengelak dan harus menepati janjinya karena telah bersumpah atas nama Allah SWT.

Seri Kisah Abu Nawas; "Mengaku Hamil untuk Menyindir Raja"

Sultan Harun Al-Rasyid dikabarkan sedang stress di istana.
Konon penyebabnya sudah 7 bulan Abu Nawas tidak menghadap kepada dirinya, akibatnya suasana istana jadi sepi tanpa kehadiran Abu Nawas.
Ia menyesal karena melarang Abu Nawas berkunjung ke istana sehingga membuat Abu Nawas benar-benar tidak muncul di hadapan Raja.

Raja pun akhirnya mencabut sumpahnya dan menyuruh pengawal menemui Abu Nawas untuk mengajaknya ke istana.
"Mungkin ABu Nawas marah kepadaku, pergilah ke rumahnya dan ajaklah Abu Nawas menemuiku," perintahnya.

Abu Nawas Menunggu Dukun

Pengawal Raja pun berkunjung ke rumah Abu Nawas dan di luar dugaan, Abu Nawas menolak tawaran pengawal Raja itu.
Abu Nawas mengaku tengah hamil dan hendak melahirkan.

"Tolong sampaikan kepada Raja, aku sakit dan hendak bersalin dan aku sedang menunggu dukun beranak untuk mengeluarkan bayiku ini," kata Abu Nawas sambil mengelus perutnya yang buncit.

Maka kembalilah pengawal Raja itu dan menyampaikan kabar sebenarnya.
"Ajaib benar," kata Baginda Raja dalam hati setelah mendengar laporan pengawalnya.
"Baru kali ini aku mendengar kabar seorang lelaki bisa hamil," katanya heran.

Maka Raja pun akhirnya berkeinginan menengok Abu Nawas.
Ia pergi dengan di iringi sejumlah menteri dan para punggawa ke rumah Abu Nawas.
Begitu melihat Raja datang, Abu Nawas pun berlari-lari menyambut dan menyembah kakinya.

"Ya tuanku, berkenan juga rupanya tuanku datang ke rumah hamba yang hina ini," ucap Abu Nawas.
Raja pun kemudian di persilahkan duduk di tempat yang paling terhormat.
Sementara Abu Nawas duduk bersila di bawahnya.

"Ya Tuanku, apakah yang menyebabkan Tuanku datang ke rumahku ini?" tanya Abu Nawas.
"Aku kemari karena ingin tahu keadaanmu, engkau dikabarkan sakit hendak melahirkan dan sedang menunggu dukun beranak, benarkah demikian?" jawab Raja.

Abu Nawas tidak menjawab, ia hanya tersenyum.
"Coba jelaskan perkataanmu.Siapa lelaki yang hamil dan siapa dukun beranaknya," tanya Raja lagi.
Maka dengan senang hati berceritalah Abu Nawas.

Menyindir Raja

"Konon....Baginda mengusirku dari istana, tetapi setelah 7 bulan berlalu tanpa alasan yang jelas, sang Raja memanggil hamba ke istana, ini ibarat hubungan laki-laki dan perempuan yang kemudian hamil tanpa menikah.
Tentu sja itu melanggar adat dan agama, menggegerkan seluruh negeri," cerita Abu Nawas.

Abu Nawas menjelaskan bahwa sebagai seorang pemimpin, seharusnya Raja tidak mengeluarkan titah yang plin-plan, tidak boleh mencabut perintahnya lagi.
Jika itu dilakukan, ibarat menjlat air ludah sendiri dan itulah tanda-tanda pengecut.

"Oleh karena itu harus berfikir masak-masak sebelum bertinda, itulah tamsil seorang lelaki yang hendak bersalin," cerita Abu Nawas menyindir Baginda Raja.
"Lalu bagaimana dengan dukun beranak itu?" tanya Baginda.

"Adapun dukun beranak yang ditunggu, adalah Baginda kemari, dengan kedatangan Baginda kemari, berarti hamba sudah melahirkan, artinya hilangnya rasa sakit atau takut hamba kepada Baginda," cetus Abu Nawas.

"Bukan begitu Abu Nawas, aku tidak sungguh-sungguh melarangmu ke istana, melainkan hanya bergurau.
Besok datanglah engkau ke istana, aku ingin bicara denganmu," titah Raja.
"Segala titah Baginda, hamba junjung tinggi tuanku," sembah Abu Nawas dengan takzim.
Tetapi Raja hanya menggeleng-gelengkan kepala saja.

Seri Kisah Abu Nawas; "Terima Hadiah Usai Menghina Raja"

Konon di jaman Raja Harun Al-Rasyid sebelum ada yang namanya toilet, yang ada hanya sungai untuk buang hajat.

Suatu ketika Sang Raja merasa perutnya sedang sakit dan sudah tidak bisa lagi untuk di ajak kompromi.
Seketika itu juga Raja meminta para pengawal untuk mendampinginya ke sungai demi menuntaskan hajatnya.

Kebetulan sungai di situ mengalir ke arah selatan.
Sudah menjadi kebiasaan di kalangan masyarakat, jika sang Raja sedang buang hajat di sungai, maka rakyat di larang keras buang hajat di sebelah utaranya Raja, karena dikhawatirkan kotoran tersebut akan mengalir ke arah selatan dan mengenai badan sang Raja.
Bagi yang melanggar, maka akan mendapatkan hukuman berat dari sang Raja.

Tata Krama

Namun kali ini, peraturan tersebut tidak di indahkan oleh Abu Nawas.
Abu Nawas dengan santainya juga ikut buang hajat di sebelah utara agak jauh dari sang Raja.

Di saat asyik buang hajat, tiba-tiba saja ada suatu benda yang menyenggol pantat Raja.
Tanpa berpikir panjang, benda tersebut langsung di pegang dan di lihat oleh sang Raja.
Dan alangkah kagetnya ternyata benda tersebut adalah kotoran manusia.

Kontan saja hal itu membuat Sang Raja naik pitam, dan seketika itu juga Raja menyuruh para pengawalnya untuk menelusuri sungai di belahan utara dan menangkap orang yang buang hajat.
Benar saja, di sebelah utara agak jauh dari posisi Sang Raja terlihat sosok Abu Nawas sedang buang hajat dengan santainya.

Saat itu juga para pengawal langsung menagkap dan membawanya ke hadapan Raja untuk di hukum.
Ketika di hadapan Raja, Abu Nawas memprotes pada Raja kenapa dia ditangkap dan akan di hukum.
Raja pun menjawab bahwa perbuatan Abu Nawas itu telah melecehkan privasinya dan menginjak-injak harga dirinya sebagai Raja.

"Kamu memang tidak punya tata krama, berani-beraninya kamu buang hajat di sebelah utaraku sehingga kotoranmu mengenai badanku.
Kini kamu harus menerima hukuman dariku," bentak Sang Raja.

"Ma'af, tunggu sebentar wahai Raja," sela Abu Nawas.
"Ada apa? kali ini tidak ada lagi ampunan bagimu Abu Nawas," sahut Sang Raja geram.
"Tunggu sebentar, tolong beri saya kesempatan untuk menjelaskannya.Saya melakukan itu semua karena saya sangat menghargai Engkau wahai Raja," kata Abu Nawas.


Diberi Hadiah

Mendengar hal itu, Raja Harun Al Rasyid langsung sedikit tertegun dengan apa yang disampaikan oleh Abu Nawas.

"Perbuatan seperti itu kamu bilang malah menghormati aku?" tanya Raja keheranan.

"Begini Raja, selama ini jika Raja tengah mengadakan perjalanan dengan rakyat atau bersama pengawal, tidak ada satu pun dari rakyat atau pengawal yang berani mendahului jalannya Raja.
Begitu juga dengan saya, ketika saya ikut rombongan Raja, posisi ketika berjalan tidak berani mendahului Raja.
Itu saya lakukan karena saya menjaga tata krama dan sopan santun kepada Raja," bela Abu Nawas.

"Ya bagus, tapi apa hubungannya dengan perbuatanmu sekarang ini?" tanya Raja.

"Begini Raja, saya menghormati engkau tidak setenga-setengah.
Ketika saya buang hajat, saya memilih di sebelah utara Raja dan hal ini saya lakukan karena saya khawatir jika di sebelah selatan Raja, maka nanti kotoran saya tidak sopan kepada kotoran Raja karena sudah berani berjalan mendahului kotoran Raja.
Ini semua saya lakukan demi tata krama saya kepada kotoran Raja," jelas Abu Nawas.


Mendengar penjelasan Abu Nawas, Raja pun tersenyum
Dia tidak jadi marah dan menghukum Abu Nawas, tetapi Abu Nawas malah diberi hadiah karena alasannya masuk akal.

Seri Kisah Abu Nawas; "Rumah Dijadikan Kandang Hewan"

Pada suatu hari ketika akan pergi ke istana, Abu Nawas kedatangan tamu yang tidak dikenalnya.
Namun bagi Abu Nawas hal itu bukan alasan untuk tidak menolong.
Memang setelah namanya tersohor menjadi penasihat yang ulung, banyak tamu asing yang ke rumahnya untuk meminta saran.

"Cobalah utarakan kesulitanmu padaku, mungkin aku bisa membantu," kata Abu Nawas.
"Tolonglah aku, rumahku teramat sempit dan tidak bahagia," kata orang asing itu.


"Siapa saja yang tinggal di rumah itu?" tanya balik Abu Nawas.
"Seorang istri dan delapan anak-anakku, wahai Abu Nawas," jawab orang asing itu.


Orang asing itu terlihat sangat tertekan dengan kondisi rumahnya.
Wajahnya nampak lesu dan gelisah.
Ironisnya, semangatnya untuk bekerja meredup seiring tekanan itu.

Sementara itu, Abu Nawas memutar otak untuk mengatasi permasalahan orang asing tersebut.
"Pantas saja rumahnya sesak, anaknya saja delapan orang," kata Abu Nawas dalam hati.
"Engkau punya seekor domba?" kata Abu Nawas memecah kesunyian.
"Tidak, tetapi aku mampu membelinya," jawab orang asing itu.
"Kalau begitu belilah seekor dan tempatkan domba itu di dalam rumahmu," jelas Abu Nawas.


Seekor Domba

Orang asing itu tidak membantah, ia langsung membeli seekor domba seperti yang disarankan oleh Abu Nawas.
Beberapa hari kemudian orang itu datang lagi menemui Abu Nawas.

Wahai Abu Nawas, aku telah melaksanakan saranmu, tetapi rumahku bertambah sesak," kata orang asing itu.
"Kalau begitu belilah lagi beberapa ekor unggas dan tempatkan juga mereka di dalam rumahmu," kata Abu Nawas lagi.


Orang itu juga tidak menolak, ia langsung membeli beberapa ekor unggas yang kemudian dimasukkan ke dalam rumahnya.
Namun, setiap kali lapor kepada Abu Nawas, ia justru disuruh untuk banyak menumpuk ternak dalam rumahnya.

"Apakah tidak salah saran Abu Nawas, dengan anak-anakku saja rumahku sempit, apalagi ditambah dengan ternak-ternak itu?" tanya orang itu dalam hati.
Namun karena tidak tahan dengan suasana rumah yang semakin sempit, orang itu datang lagi ke rumah Abu Nawas.

"Baiklah, kalau sudah merasa tidak tahan, juallah domba itu," kata Abu Nawas.
Orang itu tidak membantah.
Ia langsung menjual domba yang baru dibelinya.
Beberapa harikemudian Abu Nawas pergi ke rumah orang itu dan menayakan perkembangannya.

Menjual Ternak

"Keadaanya sekarang lebih baik karenadomba itu sudah tidak lagi tinggal di sini," kata orang itu tersenyum.
"Baiklah, kalau begitu sekarang juallah semua ternakmu," kata Abu Nawas.

Orang itu tidak melawan.
Ia langsung menjual semua ternaknya dan beberapa hari kemudian Abu Nawas mengunjungi orang itu kembali.

"Bagaimana keadaan rumah kalian sekarang?" tanya Abu Nawas.
"Kami merasakan rumah kami bertambah luas karena ternak-ternak itu sudah tidak lagi tinggal bersama kami.
Dan kami sekarang merasa lebih berbahagia daripada dulu dan kami mengucapkan terima kasih," kata orang tiu dengan wajah berseri-seri.


Abu Nawas ikut senang dengan keberhasilan orang itu.
Ia lalu menjelaskan bahwa sebenarnya batas sempit dan luas itu hanyatertancap dalam pikiran seseorang.
Kalau ia selalu bersyukur atas nikmat dari Allah SWt, maka Allah akan mencabut kesempitan dalam hati dan pikiran hamba-Nya.

Seri Kisah Abu Nawas; "Tak Berhenti Doa Minta Jodoh"

Sehebat apapun kecerdasan Abu Nawas, ia tetaplah manusia biasa.
Kala masih bujangan, seperti pemuda lainnya, ia juga ingin segera mendapatkan jodoh lalu menikah dan memiliki sebuah keluarga.

Pada suatu ketika ia sangat tergila-gila pada seorang wanita.
Wanita itu sungguh cantik, pintar serta termasuk wanita yang ahli ibadah.
Abu Nawas berkeinginan untuk memperistri wanita salihah itu.
Karena cintanya begitu membara, ia pun berdoa dengan khusyuk kepada Allah SWT.

Ya Allah, jika memang gadis itu baik untuk saya, dekatkanlah kepadaku.
Tetapi jika memang menurutmu ia tidak baik buatku, tolong Ya Allah, sekali lagi tolong...pertimbangkan lagi ya Allah," ucap doanya dengan menyebut nama gadis itu dan terkesan memaksa kehendak Allah.


STRATEGI DOA

Abu Nawas melakukan doa itu setiap selesai shalat lima waktu.
Selama berbulan-bulan ia menunggu tanda-tanda dikabulkan doanya.
Berjalan lebih 3 bulan, Abu Nawas merasa doanya tak dikabulkan Allah.
Ia pun introspeksi diri.

Mungkin Allah tak mengabulkan doaku karena aku kurang pasrah atas pilihan jodohku," katanya dalam hati.

Kemudian Abu Nawas pun bermunajat lagi.
Tapi kali ini ganti strategi, doa itu tidak diembel-embeli spesifik pakai nama si gadis, apalagi berani "maksa" kepada Allah seperti doa sebelumnya.

Ya Allah berikanlah istri yang terbaik untukku," begitu bunyi doanya.

Berbulan-bulan ia terus memohon kepada Allah, namun Allah tak juga mendekatkan Abu Nawas dengan gadis pujaannya.
Bahkan Allah juga tidak mempertemukan Abu Nawas dengan wanita yang mau diperistri.
Lama-lama ia mulai khawatir juga.
Takut menjadi bujangan tua yang lapuk dimakan usia.
Ia pun memutar otak lagi bagaimana caranya berdoa dan bisa cepat terkabul.

Abu Nawas memang cerdas.
Tak kehabisan akal, ia pun merasa perlu sedikit "diplomatis" dengan Allah.
Ia pun mengubah doanya.

"Ya Allah, kini aku tidak minta lagi untuk diriku.
Aku hanya minta wanita sebagai menantu Ibuku yang sudah tua dan sangat aku cintai Ya Allah.
Sekali lagi bukan untukku Ya Tuhan.
Maka, berikanlah ia menantu," begitu doa Abu Nawas.


Dasar Abu Nawas, pakai membawa nama ibunya segala, padahal permintaanya itu tetap saja untuk dirinya.
Allah Maha Tahu, tidak perlu dipolitisir segala.

Tapi barangkali karena keikhlasan dan "keluguan" waliyullah Abu Nawas tersebut, Allah pun menjawab doanya.

Akhirnya Allah menakdirkan wanita cantik dan salihah itu menjadi istri Abu Nawas.
Abu Nawas bersyukur sekali bisa mempersunting gadis pujaannya.
Keluarganya pun berjalan mawaddah warahmah.

Seri Kisah Abu Nawas; "Mengelabui Petugas Perbatasan"

Setiap orang di negeri Irak mulai dari anak-anak hingga dewasa mengenal si Abu Nawas.
Seperti kali ini, seisi desa merasa keheranan karena Abu Nawas tampak setiap minggunya melakukan perjalanan dari desanya ke desa tetangga yang sudah masuk dalam wilayah kerajaan negara lain.

Kali ini, seperti biasanya awal minggu pada suatu bulan, dini hari si Abu Nawas sudah keluar dari rumahnya yang dapat dikatakan sangat sederhana.
Di samping rumah sederhana tersebut terdapat kandang kuda yang penghuninya kerap kali berganti.

Seperti dini hari itu, Abu Nawas bersiap melakukan perjalanan menuju desa tetangganya sembari menunggang kuda.
Keesokan harinya biasanya ia akan pulang ke desanya di negeri Irak tersebut sambil membawa banyak barang.

Berdagang.

Karuan saja kebiasaan ini menimbulkan pertanyaan bagi Pak Hamid, tetangganya.
Sehingga sore itu ketika Abu Nawas pulang dari perjalanan tak urung ditanyakanlah perihal perniagaannya yang membuat warga sekampung bingung.

"Hai Abu Nawas, kemanakah engkau beberapa waktu ini, kalau memang engkau memiliki perniagaan yang baik, tolonglah kau ajak kami," ungkap Pak Hamid.
"Ada saja Pak, dan kukira tak akan ada yang mau berniaga sepertiku," jawab Abu Nawas.


Bulan berganti bulan, akhirnya Abu Nawas diduga telah melakukan bisnis yang dilarang.
Bulan berikutnya kembali Abu Nawas berniat melakukan perniagaannya dan dia harus melalui pintu perbatasan.
Si Fulan, petugas penjaga pintu perbatasan memeriksa seluruh barang bawaannya.
Namun tidak ada satupun barang yang mencurigakan.
Hanya ada bekal dan beberapa keping uang.

Keesokan harinya kembali si Fulan berjumpa Abu Nawas di perbatasan, kali ini Abu Nawas membawa banyak barang yang semua lengkap dengan dokumen yang diperlukan.
Si Fulan tidak dapat membuktikan perihal dugaan bisnis terlarang Abu Nawas.
Bahkan karena seringnya perjumpaan tersebut, hubungan keduanya menjadi akrab sampai akhirnya si Fulan dipindahkan dari tempat kerjanya.

Jual Kuda.

Suatu waktu bertemulah 2 orang yang telah lama tidak jumpa di suatu kesempatan yang tidak terduga.
Si Fulan bukan lagi seorang penjaga pintu perbatasan dan dirinya sudah lama pensiun dari pekerjaan itu.

Abu Nawas pun sekarang sudah dikenal sebagai saudagar dermawan yang berhasil.
Pertemuan itu dilanjutkan dengan jamuan makan oleh Abu Nawas.
Dalam kesempatan tersebut masing-masing bercerita tentang pengalaman yang telah mereka hadapi selama lebih kurang 20 tahun tak bertemu.

"Usaha apa yang engkau lakukan di masa itu saudaraku, karena aku mengetahui kau tidak membawa cukup uang.
Tetapi ketika pulang tak hanya keperluan makan, tetapi juga barang lainnya kau bawa setelah pulang dari perniagaan yang tak sampai sehari semalam kau lakukan," tanya si Fulan.


Karena mendengar hal itu, tertawalah Abu Nawas mengingat kebiasaan masa mudanya.
"Sebenarnya sangat mudah saudaraku untuk mencari bukti dan tak perlu harus memeriksa semua barang bawaanku.
Seperti engkau ketahui bahwa aku senantiasa pergi dengan mengendarai kuda, tetapi ketika pulang aku hanya berjalan kaki dan di situlah usahaku," jawab Abu Nawas.


Mendengar penjelasan itu mengertilah si Fulan, yakni di masa itu Abu Nawas menjual kuda-kudanya di negeri tetangga dan pulangnya ia tukarkan dengan barang lainnya.

Seri Kisah Abu Nawas; "Mau Terbang...Percayakah??!"

Berikut Kisahnya:
Karena di anggap terlalu mengkritik kepemimpinan Raja Harun, maka Abu Nawas ditangkap karena ia dituduh telah melakukan sesuatu yang membahayakan kerajaan sehingga harus dihukum.
Namun demikian, Abu Nawas selalu punya alasan untuk meloloskan diri dari hukuman itu.

Ia mengaku kepada pengawal kerajaan bahwa ia memiliki ilmu tinggi dan ia akan terbang.
Kabar Abu Nawas akan terbang akhirnya terdengar oleh Raja Harun.

"Mana mungkin Abu Nawas akan terbang, dia tidak punya sayap, tidak punya alat-alat khusus, apakah ia punya ilmu khusus?" kata Raja Harun kepada pengawalnya.
"Kami tidak tahu paduka, tetapi Abu Nawas sangat meyakinkan," jawab pengawal.

Hingga dibawalah Abu Nawas menghadap Sang Raja.
"Abu Nawas, betulkah kamu mau terbang?" tanya Raja.
"Ya Tuanku, memang saya mau terbang," jawab Abu Nawas.
"Kapan? dan dimana?" tanya Raja secara beruntun.
"Hari Juma'at yang akan datang ini, dan dari menara Masjid Baitul Rakhim, tak jauh dari rumah saya, jika raja mengijinkan," jawab Abu Nawas.


Akhirnya Sang Raja mengijinkan dan bahkan ia berjanji akan membebaskan Abu Nawas jika bisa terbang.
Akan tetapi jika Abu Nawas tak bisa membuktikan, maka hukumannya akan ditambah 100 lecutan rotan, daun kuping dipotong dan hukuman gantung.

Akan Terbang
Pada hari yang sudah dinantikan, Jum'at sesudah sembahyang Jum'at, lapangan sekitar masjid Baitul Rakhman sudah penuh orang.
Orang biasa, rakyat, penduduk dan penguasa setempat sudah berjubel mengambil tempat masing-masing.
Orang-orang menantikan saat yang paling genting dan mendebarkan.

Abu Nawas dengan langkah yang sangat gagah dan tak ragu, menaiki tangga menara tertinggi dan orang-orang melihat dengan mata yang tak berkedip, terpaku dan menyatu mengikuti langkah tubuh Abu Nawas.

Ketika Abu Nawas sampai pada puncak tertinggi, dia melihat lurus dan terkadang ke bawah yang penuh orang.
Badan dan kedua belah tangannya merentang lurus seakan-akan benar mau terbang.
Orang-orang yang ada di bawah dengan seksama memperhatikan dan Abu Nawas terus dan berulang-ulang merentangkan tangannya dan memajukan badannya seakan-akan terbang dan bagaikan berenang perilaku dan gerak-geriknya.

Sementar orang-orang yang ada di bawah menunggu dengan jantung berdegup dengan kencang.
Akhirnya Abu Nawas menemui mereka dan mereka semua terpana, terpesona, heran dan penuh keraguan apalagi yang mau dibuat ABu Nawas ini.

"Apa semua kalian lihat tadi bagaimana saya mau terbang itu?" tanya Abu Nawas.
"Ya, kami melihat, kamu menggerakkan kedua belah tanganmu dan badanmu bergerak ke depan, tampaknya memang bergaya mau terbang," kata orang banyak.


Bebas
"Lalu apakah saya berbohong bahwa saya mau terbang pada hari Jum'at ini dan di menara tertinggi Masjid Baitul Rakhim ini?" tanya Abu Nawas.
"Ya tidak bohong, kamu betul mau terbang hari ini dan di sini.Tapi kenapa lalu kamu tidak terbang?" kata mereka.


"Yang saya katakan bahwa saya mau terbang.Lalu saya coba, lalu ternyata yang seperti kalian lihat tadi itu," kata ABu Nawas.
"Tapi ternyata kamu tidak bisa terbang," kata mereka.


"Itu soal lain, saya tidak mengatakan bahwa saya mau terbang pada hari Jum'at ini dan di sini.Itu yang saya katakan dan kalian semua tahu hal itu.
Saya katakan bahwa saya mau terbang, hanya itu bukannya terbang," kata ABu Nawas.

Orang-orang saling melihat dan mulut mereka berguman.
Tarikan nafas panjang karena Abu Nawas terlepas dari jeratan hukum.
Orang-orang juga sama membenarkan bahwa Abu Nawas memang tidak berbohong.
Dia melakukan semua yang dia pernah katakan.Tidak berbohong dan menepati janji.

Seri Kisah Abu Nawas; "Surat Rahasia"

Waktu itu Abu Nawas sedang bekerja di ladang karena musim kentang akan tiba.
Namun tanpa alasan yang jelas prajurit kerajaan langsung menyeret Abu Nawas sesuai dengan titah Paduka Raja.
Abu Nawas tiada mampu berkutik dan kini ia mendekam di dalam penjara.

Beberapa hari lagi kentang-kentang itu harus ditanam, sedangkan istrinya tidak cukup kuat untuk mencangkul.
Tidak ada yang bisa dilakukan di dalam penjara kecuali mencari jalan keluar.
Sudah 2 hari ia meringkuk di dalam penjara, wajahnya terlihat murung.

Karena khawatir dengan keadaan istrinya, maka pada hari ke 3 Abu Nawas memanggil seorang pengawal.
"Bisakah aku minta tolong kepadamu?" kata Abu Nawas.
"Apa itu?" kata pengawal.
Abu nawas pun meminta pensil dan selembar kertas untuk menulis surat kepada istrinya.

"Aku harus menyampaikan sebuah rahasia penting, yang hanya boleh diketahui oleh istriku saja," katanya.
Pengawal itu berfikir sejenak, lalu pergi meninggalkan Abu Nawas.
Ternyata pengawal itu menghadap Raja untuk melapor.
Mendengar laporan dari pengawal, Baginda Raja berguman,
"Mungkin kali ini aku bisa mengalahkan Abu Nawas," gumannya.

Surat Rahasia Abu Nawas
Abu Nawas menulis surat yang berbunyi,
"Wahai istriku, jangan engkau sekali-kali menggali ladang kita, karena aku menyembunyikan harta karun dan senjata di situ.Dan tolonglah jangan bercerita kepada siapa pun."

Tentu saja surat itu dibaca oleh Baginda Raja, karena Beliau ingin tahu apa sebenarnya rahasia Abu Nawas.
Setelah membaca surat itu, Baginda Raja merasa puas dan memerintahkan beberapa pekerja istana untuk menggali ladang Abu Nawas.

Istri Abu Nawas yang berada di rumah menjadi heran.
Lima hari kemudian Abu Nawas menerima surat dari istrinya.
Dalam surat tersebut istrinya mengatakan bahwa ladang mereka telah digali oleh pekerja istana dan istrinya bingung harus melakukan apa.

Rupanya istri Abu Nawas belum mengerti muslihat suaminya,
"Sekarang engkau bisa menanam kentang di ladang tanpa harus menggali, wahai istriku."

Kali ini Baginda tidak bersedia membaca surat Abu Nawas lagi karena Baginda Raja makin mengakui keluarbiasaan akal Abu Nawas.
Baginda semakin merasa tertantang untuk mengalahkan Abu Nawas.
Ia pun berfikir sejenak, kemudian beliau segera memerintahkan penjaga penjara untuk membebaskan ABu Nawas.
Baginda Raja tidak ingin ada resiko yang lebih buruk.

Abu Nawas memang girang bukan kepalang, tetapi ia juga merasa gundah gulana karena Abu Nawas yakin bahwa saat ini Baginda telah merencanakan sesuatu dan Abu Nawas pun segera mencari akal untuk mengantisipasi rencana Baginda.

Ahli Ramal
Pada hari itu juga Abu Nawas mengumumkan dirinya sebagai ahli nujum atau tukang ramal nasib.
Sejak membuka praktik meramal, Abu Nawas sering mendapat panggilan dari orang-orang terkenal.

Mendengar Abu Nawas mendadak menjadi ahli ramal, maka Baginda tanpa pikir panjang memerintahkan prajurit untuk menangkapnya, karena dianggap membahayakan.

Abu Nawas lalu digiring menuju tempat kematian.
Tukang penggal kepala pun sudah menunggu dengan pedang yang baru di asah.
Ketika algojo sudah siap megayunkan pedang, tiba-tiba Abu Nawas tertawa sehingga membuat Baginda menangguhkan pemancungan.

"Hai ABu Nawas, apakah engkau tidak merasa ngeri menghadapi pedang algojo?" tanya Raja.
"Ngeri Tuanku yang mulia, tetapi hamba juga merasa gembira," jawab Abu Nawas.
"Mengapa engkau meras gembira?" tanya Baginda kaget.
"Betul Baginda yang mulia, karena tepat 3 hari setelah kematian hamba maka Baginda akan mangkat menyusul hamba ke liang lahat.Karena hamba tidak bersalah sedikitpun," jawab Abu Nawas.

Baginda Raja bergetar mendengar kata Abu Nawas dan tentu saja hukuman pancung dibatalkan.
Itulah si Kisah Abu Nawas yang setiap ucapannya mengandung hikmah do'a hingga Sang Raja ngeri juga mendengar penuturannya.

Seri Kisah Abu Nawas; "Lebih Kaya dari Tuhan"

Pada suatu saat di negeri tempat tinggal Abu Nawas, diadakanlah pertemuan antar raja-raja dari negara tetangga.
Sang Abu Nawas pun ikut pula dalam pertemuan itu karena dia adalah sebagai penasehat Raja.

Dalam pertemuan itu salah satu tema yang dibicarakan adalah mengenai kekayaan.
Tak bisa dibayangkan raja-raja jaman dahulu memang kaya raya.
Para raja saling bercerita mengenai kekayaan yang dimiliki termasuk istana dan yang akan dibangun setelah pertemuan itu usai.

Ada raja yang memiliki kebun yang luas dengan hiasan permata, danau yang indah gemerlapan, kolam-kolam yang indah, gedung dan istana dan sebagainya.

Semua orang yang mendengar penuturan raja-raja itu berdecak kagum kecuali Abu Nawas.
Malah Abu Nawas berusaha mengingatkan dan menyadarkan mereka dari melimpahnya harta dunia yang fana ini.

Harta dan Agama.

Sang Abu Nawas berkata kepada mereka,
"Kalau harta aku melihat ke bawah tetapi kalau agama aku melihat ke atas."

"Apa maksudnya itu?" tanya beberapa raja.
"Kalau tentang harta maka lihatlah orang yang lebih miskin niscaya engkau akan bersyukur.
Karena dengan rasa syukur maka kalian akan memperoleh nikmat yang lebih banyak.
Tapi kalau amal, maka lihatlah orang yang lebih bertakwa daripada kalian, niscaya kalian akan bertambah rajin untuk beribadah kepada Allah SWT,"
jelas Abu Nawas.

Mendengar penjelasan Abu Nawas tersebut, orang-orang mulai sadar akan apa yang telah mereka miliki dan mereka banggakan.
Bahkan banyak dari mereka bahwa ucapan Abu Nawas itu adalah benar.

Abu Nawas Lebih kaya dari Tuhan.

Akan tetapi mereka tiba-tiba terkejut dengan pernyataan Abu Nawas.
"Aku itu lebih kaya dari Tuhan." ucap Abu Nawas spontan.

Tentu saja ucapan Abu Nawas itu mendapat tanggapan yang luar biasa.
Kaget.
Tidaklah heran jika seisi ruangan pertemuan heboh dibuatnya.

Ada sebagian yang bilang kalau Abu Nawas berkata bohong, ada yang bilang kalau Abu Nawas berani berkata demikian memang tiada buktinya.
Sebagian lagi tidak percaya, sebagian lagi punya keyakinan bahwa Abu Nawas mempunyai maksud tertentu di balik kata-katanya.

Karena Abu Nawas bikin heboh pertemuan, akhirnya Baginda Raja memerintahkan prajuritnya untuk menangkap Abu Nawas.
Setelah ditangkap, Abu Nawas dihadapkan ke Baginda Raja.

"Benarkah kamu mengatakan bahwa kamu lebih kaya dari Tuhan?" tanya Raja.
"Benar Tuanku yang mulia," jawab Abu Nawas.
"Apa maksudmu kamu lebih kaya dari Tuhan?" tanya Raja Harun.

"Karena kenyataannya hamba memang demikian," jawab Abu Nawas dengan santainya.
"Sanggupkan kamu membuktikan perkataanmu?" tanya Raja.
"Sanggup Tuanku." jawab Abu Nawas.

"Apa sangsinya bila ternyata kamu tidak sanggup membuktikannya?" tanya Raja Harun.
"Hamba akan rela dihukum oleh Tuanku." jawab Abu Nawas.

"Nah sekarang buktikanlah!" perintah Raja.
"Baginda yang mulia, bukankah Tuhan kita itu tidak mempunyai anak dan juga tidak diperanakkan?
Sedangkan hamba ini mempunyai anak dan ibu karena hamba hanyalah makhluk, bukan Sang Khalik." jawab Abu Nawas.

Mendengar penuturan Abu Nawas tersebut, Raja Harun Al-Rasyid merasa puas, bahkan sang Raja malah memerintah kepada Abu Nawas agar menyebarluaskan opini tersebut kepada seluruh penduduk.

Lolos lagi si Abu Nawas dari hukuman Raja.

Jumat, 15 Februari 2013

Seri Kisah Abu Nawas; "Rahasia pikiran Manusia"

Baginda Raja Harun al Rasyid terlihat murung.
Semua menterinya tidak ada satu pun yang sanggup menemukan jawaban dari 2 pertanyaan Baginda Raja.

Bahkan para penasehat pun merasa tidak mampu memberikan penjelasan yang memuaskan Baginda, padahal Baginda sendiri ingin mengetahui jawaban yang sebenarnya.

Mungkin karena sangat penasaran, para penasehat kerajaan menyarankan agar Abu Nawas saja yang memecahkan 2 teka-teki yang membingungkan itu.

Tidak begitu lamapun Abu Nawas dihadapkan ke Raja.
Baginda mengatakan bahwa akhir-akhir ini beliau sulit tidur karena diganggu oleh keingintahuan mengungkap 2 rahasia alam.

Tuanku yang mulia, sebenarnya rahasia alam yang manakah yang Paduka maksudkan?" tanya Abu Nawas.
"Aku memanggilmu untuk menemukan jawaban dari 2 teka-teki yang selama ini menggoda pikiranku." jelas Baginda.
"Bolehkah hamba mengetahui kedua teka-teki itu, wahai Paduka?" tanya Abu Nawas.

"Yang pertama, dimanakah sebenarnya batas jagad raya ciptaan Tuhan kita?" tanya Baginda.
"Di dalam pikiran, wahai Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas tanpa ragu.


"Tuanku yang mulia, ketidakterbatasan itu ada karena adanya keterbatasan.
Dan keterbatasan itu ditanamkan oleh Tuhan di dalam otak manusia.
Dari itu manusia tidak akan pernah tahu dimana batas jagad raya ini karena sesuatu yang terbatas tentu tidak akan mampu mengukur sesuatu yang tidak terbatas." jelas Abu Nawas.

Baginda Raja mulai tersenyum karena puas dengan penjelasan Abu Nawas yang masuk akal itu.
Kemudian Baginda melanjutkan teka-teki yang kedua.

"Wahai Abu Nawas, manakah yang lebih banyak jumlahnya, bintang-bintang di langit ataukah ikan-ikan di laut?" tanya Baginda.
"Ikan-ikan di laut." jawab Abu Nawas dengan gesit.

"Bagaimana kamu bisa langsung memutuskan begitu, apakah kamu pernah menghitung jumlah mereka?" tanya Baginda.

"Paduka yang mulia, bukankah kita semua tahu bahwa ikan-ikan itu setiap hari ditangkapi dalam jumlah yang besar, namun begitu jumlah mereka tetap banyak seolah-olah tidak pernah berkurang saking banyaknya.
Dan bintang-bintang itu tidak pernah jatuh atau hilang meskipun jumlah mereka juga banyak." jelas Abu Nawas meyakinkan.

Seketika itu juga rasa penasaran yang selama ini menghantui Baginda Raja sirna tak berbekas.
Baginda Raja Haru al Rasyid memberi hadiah kepada Abu Nawas dan istrinya pakaian-pakaian yang indah menawan.

Seri Kisah Abu Nawas; "Memindahkan Istana"

Baginda Raja Harun al-Rasyid baru saja membaca sebuah kitab tentang kehebatan Raja Nabi Sulaiman yang mampu memerintahkan para jin untuk memindahkan singgasana Ratu Bilqis di dekat istananya.
Tiba-tiba saja Baginda merasa tertarik.

Hatinya mulai tergelitik untuk melakukan hal yang sama dengan Raja Sulaiman itu.
Secara tiba-tiba saja baginda ingin agar istananya dipindahkan ke atas gunung agar lebih leluasa melihat pemandangan alam sekitar.

Baginda pun berfikir sejenak, bukankah hal itu tidak mustahil bisa dilakukan oleh Abu Nawas yang terkenal amat cerdik di negerinya.
Tanpa membuang waktu, Abu Nawas segera dipanggil ke istana menghadap Baginda Raja Harun al-Rasyid.

Setelah menghadap, Baginda Raja berkata,
"Sanggupkah engkau memindahkan istanaku ke atas gunung agar aku lebih leluasa melihat negeriku?" tanya baginda.

Abu Nawas diluar dugaan tidak langsung menjawab pertanyaan itu.
Ia berfikier sejenak hingga keningnya berkerut.
Dalam hatinya ia berfikir kalau ia tidak mungkin menolak permintaan Baginda, kecuali memang ingin dihukum.

Setelah berfikir, Abu Nawas akhirnya terpaksa menyanggupi permintaan Baginda yang merupakan proyek raksasa itu.
Ada lagi permintaan dari Baginda, bahwa pekerjaan itu harus selesai hanya dalam waktu sebulan.

Abu Nawas pun pulang dengan hati menggerutu.
Setiap malam ia hanya berteman dengan bintang dan rembulan saja.
Hari demi hari dilewati dengan kegundahan dengan proyek yang mustahil itu.

Tiada hari yang lebih berat dalam hidup Abu Nawas kecuali hari-hari itu.
tetapi pada hari kesembilan ia tidak lagi merasa gundah gulana.
Ya memang Imam Abu Nawas seorang yang cerdik lagi pandai.

Keesokan harinya Abu Nawas menuju ke istana.
Ia menghadap Baginda untukmembahasa pemindahan istana dan dengan senang hati Baginda akan mendengarkan apa yang diinginkan Abu Nawas.

"Ampun Tuanku, hamba datang kesini hanya untuk mengajukan usul untuk memperlancar pekerjaan hamba nanti," kata Abu Nawas.
"Apa usul itu?" tanya Baginda.
"Hamba akan memindahkan istana Paduka yang mulia tepat pada hari raya Idul Qurban yang kebetulan hanya kurang 20 puluh hari lagi." jawab Abu Nawas.

"Kalau hanya itu usulmu, baiklah." kata Baginda.
"Satu lagi Baginda yang mulia." Abu Nawas menambahkan.
"Apa lagi?" tanya Baginda.
"Hamba mohon Baginda menyembelih 10 ekor sapi yang gemuk untuk dibagikan langsung kepada fakir miskin." kata Abu Nawas.
"Usulmu aku terima." kata Baginda yang menyetujui usul Abu Nawas.

Abu Nawas pun pulang dengan perasaan riang gembira.
Kini tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan, toh nanti bila waktunya tiba ia pasti akan dengan mudah memindahkan istana Baginda ke atas gunung.
Jangankan hanya ke puncak gunung, ke dasar samudra pun Abu Nawas sanggupi.

Berita itu mulai tersebar ke seluruh pelosok negeri.
Hampir semua orang berharap cemas, tetapi sebagian besar rakyat merasa yakin akan kemampuan Abu Nawas, karena selama ini Abu Nawas belum pernah gagal melaksanakan tugas-tugas aneh yang diberikan kepadanya.
Namun ada juga yang merasa ragu akan keberhasilan Abu Nawas kali ini.

Saat yang dinantikan akhirnya tiba juga.
Rakyat berbondong-bondong menuju lapangan untuk melakukan shalat Idul Qurban.
Dan seusai shalat, 10 sapi sumbangan dari Baginda disembelih lalu dimasak kemudian dibagikan kepada fakir miskin.

Nah kali ini giliran Abu Nawas yang harus melakukan tugas berat itu.
Abu Nawas pun berjalan menuju istana dan diikuti oleh rakyat.
Sesampainya di depan istana, Abu Nawas bertanya kepada Baginda.

"Ampun Tuanku yang mulia, apakah istana sudah tidak ada orangnya lagi?" tanya Abu Nawas.
"Tidak ada." jawab Baginda Raja singkat.

Kemudian Abu Nawas berjalan beberapa langkah mendekati istana.
Abu Nawas berdiri mematung seolah-olah ada yang ditunggu.
Akhirnya Baginda Raja tidak sabar juga.

"Abu Nawas, mengapa engkau belum juga mengangkat istanaku?" tanya Baginda.
"Hamba sudah siap sejak tadi Baginda." jwab Abu Nawas.
"Apa maksudmu sudah siap sejak tadi?
Kalau engkau sudah siap, lalu apa yang engkau tunggu?" tanya Baginda dengan heran.

"Hamba menunggu istana Paduka yang mulia diangkat oleh seluruh rakyat yang hadir untuk diletakkan di atas pundak hamba.
Setelah itu hamba tentu akan memindahkan istana Paduka yang mulia ke atas gunug sesuai permintaan Padukan." jelas Abu Nawas.

Baginda Raja yang mendengar penjelasan Abu Nawas ini merasa terpana.
Dalam hati di berfikir bahwa tiada mungkin seorang manusia pun di muka bumi ini yang menyamai kejayaan Raja Sulaiman.
Betapa cerdiknya si Abu Nawas ini dengan alasan yang masuk akal.

Masih ingat pada saat Rasulullah SAW yang pada waktu shalat diganggu oleh Jin Ifrit, dan Beliau pun ingin menangkap Ifrit itu dan merantainya di tiang masjid.
Namun hal itu tidak Beliau lakukan karena teringat akan doanya Raja Sulaiman yang merupakan Raja dari segala raja yang tidak akan dimiliki oleh seorang pun setelah meninggalnya Nabi Sulaiman.

Seri Kisah Abu Nawas; "Menipu Gajah Ajaib"

Karena tidak ada yang harus dikerjakan di rumah, Abu Nawas keluar untuk mencari angin.
Jalan-jalan.
Abu Nawas bertanya kepada seorang kawan yang kebetulan berjumpa di tengah jalan.

Berikut Kisah Abu Nawas yang menipu Gajah ajaib:
"Ada kerumunan apa di sana?" tanya Abu Nawas.
"Pertunjukan keliling yang melinatkan gajah ajaib." jawab kawan Abu Nawas tersebut.
"Apa maksudmu dengan gajah ajaib?" tanya Abu Nawas lagi.
"Gajah yang bisa mengerti bahasa manusia dan yang lebih menkjubkan lagi adalah gajah itu hanya mau tunduk kepada pemiliknya saja." jawab kawan Abu Nawas.

Abu Nawas makin tertarik.
Ia tidak tahan untuk menyaksikan kecerdikan dan keajaiban binatang raksasa itu.

Kini Abu Nawas sudah berada di tengah kerumunan para penonton.
Karena begitu banyak penonton yang menyaksikan pertunjukan itu, sang pemilik gajah dengan bangga menawarkan hadiah yang cukup besar bagi siapa saja yang sanggup membuat gajah itu mengangguk-angguk.

Tidak heran bila banyak diantara para penonton yang mencoba untuk maju satu persatu.
Mereka berupaya dengan beragam cara untuk membuat gajah ituk mengangguk-angguk, tetapi usaha mereka sia-sia.
Gajah itu tetap menggeleng-gelengkan kepala.

Melihat kegigihan gajah itu, Abu Nawas semakin penasaran hingga ia maju untuk mencoba.
Setelah berhadapan dengan binatang berbelalai itu, Abu Nawas bertanya,
"Tahukah engkau siapa aku ini?"
Gajah menggeleng.
"Apakah engkau tidak takut kepadaku?" tanya Abu Nawas lagi .
Namun Gajah itu tetap saja menggeleng-gelengkan kepala.

"Apakah engkau takut kepada tuanmu?" tanya Abu Nawas memancing.
Gajah itu mulai ragu.
"Bila engkau tetap diam maka akan aku laporkan kepada tuanmu." lanjut Abu Nawas mengancam.
Akhirnya gajah itu terpaksa mengangguk-angguk.

Atas keberhasilan Abu Nawas membuat gajah itu mengangguk-angguk maka ia mendapat hadiah berupa uang yang banyak.
Bukan main marahnya pemilik gajah itu hingga memukuli binatang yang malang itu.
Pemilik gajah itu malu bukan kepalang.

Pada hari berikutnya, ia ingin menebus kekalahannya.
Kali ini ia melatih gajahnya mengangguk-angguk.
Bahkan ia mengancam akan menghukum berat gajahnya apabila sampai bisa dipancing penonton mengangguk-angguk terutama oleh ABu Nawas.
Tak peduli apapun pertanyaan yang diajukan.

Saat-saat yang dinantikan telah tiba.
Kini para penonton ingin mencoba, harus sanggup membuat gajah itu menggeleng-gelengkan kepala.
Maka seperti hari sebelumnya, banyak para penonton tidak sanggup memaksa gajah itu menggeleng-gelengkan kepala.
Setelah tidak ada lagi yang ingin mencobanya, Abu Nawas maju lagi.
Ia ingin mengulang pertanyaan yang sama.

"Tahukah engkau siapa aku ini?" tanya Abu Nawas.
Gajah itu mengangguik.
"Apakah engkau tidak takut kepadaku?"
Gajah itu tetap mengangguk.

"Apakah engkau tidak takut kepada tuanmu?" pancing Abu Nawas.
Gajah itu tetap mengangguk.
Gajah itu mengangguk karena binatang itu lebih takut terhadap ancaman tuannya daripada Abu Nawas.

Akhirnya Abu Nawa mengeluarkan bungkusan kecil berisi balsam.
"Tahukah engkau apa guna balsam ini?" tanya Abu Nawas.
Gajah itu tetap mengangguk.
"Baiklah, bolehkah kogosok selangkangmu dengan balsam?" 
Gajah itu mengangguk lagi.

Lalu Abu Nawas menggosok selangkang binatang itu.
Tentu saja gajah itu merasa agak kepanasan dan mulai agak panik.
Kemudian ABu Nawas mengeluarkan bungkusan yang cukup besar.
Bungkusan itu juga berisi balsam.

"Maukah engkau bila balsam ini aku habiskan untuk menggosok selangkangmu?" ancam Abu Nawas.
Gajah itu mulai ketakuta.
Dan rupanya ia lupa ancaman tuannya sehingga terpaksa gajah itu menggeleng-gelengkan kepala sambil mundur beberapa langkah.

Abu Nawas dengan kecerdikan dan akalnya yang licin mampu memenangkan sayembara itu.
Abu Nawas telah meruntuhkan kegigihan gajah yang dianggap cerdik itu.
Pemilik gajah itu marah bukan main dan tidak tahu lagi harus bagaimana mengalahkan Abu Nawas.

Seri Kisah Abu Nawas; "Mengajari Keledai Membaca"

Pada suatu hari seorang menteri kerajaan yang dipimpin oleh Harun al Rasyid tiba-tiba punya pikiran buruk kepada Abu Nawas.
Rupanya ia iri jati terhadap perhatian Raja yang begitu berlebihan terhadap Abu Nawas daripada dirinya.

Tanpa ada sebab, menteri itu memberikan seekor keledai kepada Abu Nawas.
"Ajari keledai itu membaca.
Dalam 2 minguu, datanglah kembali kemari dan kita lihat hasilnya,"
kata menteri itu.

Abu Nawas menerimanya dan kemudian pergi tanpa banyak kata.
Namun dalam hati ia masih was-was juga atas niat menteri itu.
"Apakah ini salah satu tipu dayanya untuk menghancurkan nama baikku?" tanya Abu Nawas dalam hati.

Abu Nawas berusaha cuek saja dan dalam 2 minggu kemudian ia kembali ke istana.
Tanpa banyak bicara, menteri mengajaknya menghadap Baginda Raja Harun Al Rasyid.

"Baginda, akan aku tunjukkan siapa sebenarnya diriku ini," kata menteri itu dengan lantang.
"Hai menteri, ada apa dengan dirimu?" bentak Raja Harun.
"Tenang Baginda, hari ini Baginda akan tahu kecerdasan akal saya sebenarnya mengungguli kecerdasan Abu Nawas," ucap menteri.

"Apalagi yang akan dibuat oleh menteri ini," kata Abu Nawas dalam hati.
"Baiklah, jika salah satu dari kalian menang, maka ia berhak mendapatkan sekantung dinar ini, tetapi bagi yang kalah ia akan dihukum 3 bulan di penjara," titah Sang Raja.

Tanpa bisa megelak, Abu Nawas terpaksa menyanggupi permainan aneh itu.
Tiba-tiba menteri itu menunjuk ke sebuah buku besar.
"Coba buktikan jika keledai itu bisa membaca, bukankah engkau cerds dalam segala hal?" kata menteri kepada Abu Nawas.

Abu Nawas lalu menggiring keledainya ke buku itu dan membuka sampulnya.
Si keledai menatap buku itu dan tak lama kemudian mulai membalik halamannya dengan lidahnya.
Terus menerus dibaliknya setiapa halaman sampai ke halaman terakhir.
Setelah selesai si keledai menatap Abu Nawas.

"Demikianlah, keledaiku bisa membaca," kata Abu Nawas.
Kini giliran si menteri itu menginterogasi.
"Bagaimana caramu mengajari dia membaca?" tanyanya.

Abu Nawas Mendapat Hadiah Dinar
"Sesampainya di rumah, aku siapkan lembaran-lembaran besar mirip buku dan aku sisipkan biji-biji gandum di dalamnya.
Keledai itu harus belajar membalik-balik halaman untuk bisa memakan biji-biji gandum itu, sampai ia terlatih betul untuk membalik-balik halaman buku dengan benar." jelas Abu Nawas.

"Tapi bukankah ia tidak mengerti apa yang dibacanya?" tukas si menteri.
"Memang demikianlah cara keledai membaca, dia hanya membalik-balik halaman tanpa mengerti isinya.
Kalau kita membuka-buka buku tanpa mengerti isinya, kita disebut setolol keledai bukan?" jawab Abu Nawas.

Jawab Abu Nawas ini mendapatkan anggukan dari Baginda Raja.
Raja mengerti, sepintar-pintarnya hewan, tidak akan sanggup menjadi sesempurna manusia.
Hanya manusia bodoh saja yang tidak mau menggunakan akalnya untuk berfikir.
Akhirnya Abu Nawas mendapatkan hadiah sekantung dinar, sedangkan menteri masuk penjara.

Seri Kisah Abu Nawas; "Hakim yang Bertobat"

Pada suatu waktu kerajaan yang dipimpin oleh Raja Harun Al Rasyid ini mengalami krisis keadilan.
Banyak hakim yang adil meninggal dunia dan raja salah dalam menunjuk orang sebagai hakim pengganti.
Akibatnya hakim pengganti itu tidak mampu menjawab kebutuhan masyarakat atas keadilan.

Para hakim pengganti itu berlaku menyimpang dan sama sekali tidak mengetahui hukum-hukum agama, sehingga tidak aneh jika kemudian muncul berbagai kebobrokan dan penyimpangan hukum yang dilakukan para hakim.

Tiadanya keadilan dan kebenaran, semakin meluasnya korupsi dan penyalahgunaan hukum seperti telah menjadi hal yang biasa.
Dalam kekuasaan tiran, ucapan penguasalah yang menjadi hukum dan kepentingan pribadi di atas segala-galanya.

Hadiah...
Dalam hal ini Abu Nawas turut prihatin.
Dia pun lantas berinisiatif menyadarkan para hakim itu dengan caranya sendiri.

Pada suatu hari Abu Nawas mendatangi seorang hakim untuk mengurus suatu perjanjian.
Namun hakim di kotanya selalu mengatakan tidak punya waktu untuk menandatangai perjanjian itu.
Keadaan ini terus berlangsung seperti itu sehingga Abu Nawas menyimpulkan bahwa si hakim minta disogok (disuap).

Akan tetapi Abu Nawas mengetahui bahwa menyuap adalah hal yang diharamkam oleh agama.
Maka Abu Nawas pun memutuskan untuk melemparkan keputusan pada si hakim sendiri.

Abu Nawas menyiapkan sebuah gentong.
Gentong itu diisi dengan kotoran sapi hingga hampir penuh.
Kemudian di atasnya Abu Nawas mengoleskan mentega beberapa sentimeter tebalnya.

Gentong itu dibawanya ke hadapan Pak Hakim.
Saat itu juga kesibukan sang hakim langsung hilang dan punya waktu untuk membubuhkan tanda tangannya pada surat perjanjian Abu Nawas.

"Tuan Hakim, apakah pantas Tuan mengambil gentong mentega itu sebagai ganti tanda tangan Tuan?" tanya Abu Nawas mengelabuhi.
Sang hakim tersenyum sambil mengamati gentong itu.
"Ah...engkau jangan terlalu dalam memikirkannya," kata si hakim mulai terjebak tipu muslihat Abu Nawas.

Hakim tersebut lantas mncolek sedikit mentega dengan ujung jarinya lalu mencicipinya.
"Wah enak benar mentega ini." kata sang hakim.
"Ya..sesuai dengan ucapan Tuan, jangan terlalu dalam mencolek menteganya," jawab Abu Nawas.
Abu Nawas pun segera meninggalkan kantor sang hakim setelah mendapatkan tanda tangan si hakim.

Hakim Bertobat.
Hakim lantas pulang dengan hati yang riang gembira.
Dibawanya gentong itu lantas di panggillah istri dan anak-anaknya untuk bersama-sama makan pemberian Abu Nawas itu.

Awalnya mereka sekeluarga sangat menikmati mentega itu.
Namun begitu lapisan mentega itu habis, mereka mulai memakan kotoran sapi.
hehehe...dasar hakim zalim.

"Upsss...apa ini...baunya sangat busuk seperti kotoran hewan." kata hakim.
Hakim lantas teringat Abu Nawas.
Setelah berfikir panjang, ia baru sadar bahwa semua itu adalah ulah si Abu Nawas yang ingin menyadarkannya utnuk meninggalkan praktek suap menyuap dan menegakkan keadilan.

Hakim itu kemudian merasa sangat bersalah atas sikapnya selama ini.
Ia lalu mendatangi rumah Abu Nawas dan meminta maaf atas kekhilafannya.
Di hadapan Abu Nawas ia berjanji akan menjadi Hakim Yang Adil.

Seri Kisah Abu Nawas; "Pertanyaan Sama, Jawaban Berbeda"

Sebenarnya dibalik antara kejeniusan dan kejenakaan Abu Nawas, ia adalah seorang ulama yang alim.
Tak begitu heran jika Abu Nawas mempunyai banyak murid.

Nah diantara sekian banyak muridnya, ada seorang yang hampir selalu menanyakan kenapa Abu Nawas mengatakan ini dan itu.

Suatu ketika ada 3 orang tamu yang bertanya kepada Abu Nawas dengan pertanyaan yang sama namun jawabannya selalu berbeda.

Orang pertama bertanya,
"Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa besar ataukah yang mengerjakan dosa kecil?" tanya orang pertama.
"Orang yang mengerjakan dosa kecil." jawab Abu Nawas.

"Mengapa?" tanya orang pertama tadi.
"Sebab lebih mudah di ampuni oleh Alloh." kata Abu Nawas.
Orang pertama puas karena ia memang yakin begitu.

Orang yang kedua bertanya dengan pertanyaan sama.
"Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa besar atau orang mengerjakan dosa kecil?"
"Orang yang tidak mengerjakan keduanya." jawab Abu Nawas.

"Mengapa?" tanya orang kedua.
"Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu tidak memerlukan pengampunan Alloh." jawab Abu Nawas.
Orang kedua itu langsung bisa mencerna jawaban dari Abu Nawas.

Orang ketiga juga bertanya dengan pertanyaan yang sama.
"Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa kecil?"
"Orang yang mengerjakan dosa besar." jawab Abu Nawas.

"Mengapa?" tanya orang ketiga.
"Sebab pengampunan Alloh kepada hambaNya sebanding dengan besarnya dosa hamba itu." jawab Abu Nawas.
Orang ketiga menerima alasan Abu Nawas.
Akhirnya ketiga orang itu pulang dengan perasaan puas.

Karena belum mengerti, seorang murid Abu Nawas bertanya.
"Mengapa dengan pertanyaan yang sama bisa memberikan jawaban yang berbeda?" tanya muridnya.

"Manusia dibagi menjadi 3 tingkatan.
Tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan hati." jawab Abu Nawas.
"Apakah tingkatan mata itu?" tanya muridnya.
"Anak kecil yang melihat bintang di langit, ia mengatakan bahwa bintang itu kecil karena ia hanya menggunakan mata." jawab Abu Nawas.

"Apakah tingkatan otak itu?" tanya muridnya.
"Orang pandai yang melihat bintang di langit, ia akan mengatakan bahwa bintang itu besar karena ia berpengetahuan." jawab Abu Nawas.

"Lalu apakah tingkatan hati itu?" tanya murid Abu Nawas.
"Orang pandai dan mengerti yang melihat bintang di langit, ia akan tetap mengatakan bahwa bintang itu kecil walaupun ia tahu kalau bintang itu besar.
Karena bagi orang yang mengerti tidak ada sesuatu apapun yang besar jika dibandingkan dengan ke-Maha Besaran Alloh SWT." jawab Abu Nawas.

Kini murid Abu Nawas mulai mengerti mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan jawaban yang berbeda.

Seri Kisah Abu Nawas; "Minta Tolong pada Lalat"

Abu Nawas hanya tertunduk lesu dan sedih ketika mendengarkan penuturan istrinya.
Tadi pagi beberapa pekerja dari kerajaan telah membongkar rumahnya dan mereka terus menggali tanpa bisa dicegah lagi.
Mereka mengatakan bahwa tadi malam Baginda Raja bermimpi kalau di bawah rumah Abu Nawas terpendam emas dan permata yang tak ternilai harganya.

Tetapi setelah mereka terus menggali ternyata emas dan permata itu tidak ditemukan.
Baginda akhirnya meminta maaf kepada Abu Nawas dan bersedia mengganti kerugian.
Inilah yang membuat hati Abu Nawas sedih.

Lama Abu Nawas memeras otak, namun belum juga ia menemukan muslihat untuk membalas Baginda.
Makanan yang dihidangkan istrinya tidak dimakan karena nafsu makannya lenyap.
Malam pun tiba, namun Abu Nawas tetap tidak beranjak dari tempat duduknya.

Keesokan harinya Abu Nawas melihat lalat-lalat mulai menyerbu makanan Abu Nawas yang mulai basi.
Tiba-tiba Abu Nawas tertawa riang.

"Tolong ambilkan kain penutup untuk makananku dan sebatang besi," kata Abu Nawas kepada istrinya.
"Untuk apa?" tanya istrinya.
"Membalas Baginda Raja." jawab Abu Nawas.

Dengan muka berseri-seri Abu Nawas berangkat menuju istana.
Setibanya di istana Abu Nawas membungkuk hormat dan berkata,
"Ampun Tuanku, hamba menghadap hanya untuk mengadukan perlakuan tamu-tamu yang tidak di undang.
Mereka memasuki rumah hamba tanpa ijin dari hamba dan berani memakan makanan hamba," kata Abu nawas mengadu.

"Siapakah tamu-tamu yang tidak diundang itu wahai Abu Nawas?" tanya Baginda.
"Lalat-lalat ini, Tuanku," jawab Abu Nawas.
"Kepada siapa lagi kalau bukan kepada Baginda, hamba mengadukan perlakuan yang tidak adil ini." jelas ABu Nawas.

"Lalu keadilan yang bagaimana yang engkau inginkan?"
"Hamba hanya menginginkan ijin tertulis dari Baginda sendiri agar hamba bisa dengan leluasa menghukum lalat-lalat itu."

Baginda Raja tidak bisa menolak permintaan Abu Nawas karena pada sat itu para menteri sedang berkumpul di istana.
Maka dengan sangat terpaksa Baginda membuat surat ijin yang isinya memperkenankan Abu Nawas memukul lalat-lalat itu dimana pun mereka hinggap.

Tanpa menunggu perintah, Abu Nawas mulai mengusir lalat-lalat di piringnya hingga mereka terbang dan hinggap di sana sini.
Dengan tongkat besi yang sudah dibawanya sejak tadi, Abu nawas mulai mengejar dan memukuli lalat-lalat itu, bahkan di kaca.

Abu Nawas dengan leluasa memukul kaca itu hingga hancur, kemudian vas bunga yang indah, kemudian patung hias sehingga sebagian dari istana dan perabotannya remuk diterjang tongkat besi Abu Nawas.
Bahkan Abu Nawas tidak merasa malu memukul lalat yang hinggap di tempayan Baginda Raja.

Baginda Raja tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menyadari kekeliruan yang telah dilakukan terhadap Abu Nawas dan keluarganya.
Dan setelah merasa puas, Abu Nawas mohon diri.

Barang-barag kesayangan Baginda banyak yang hancur dan bukan itu saja, Baginda juga menanggung rasa malu.
Abu Nawas pulang dengan perasaan lega.
Istrinya pasti sedang menunggu di rumah untuk mendengarkan cerita apa saja yang dibawa dari istana.

Seri Kisah Abu Nawas; "Tips Menghindari Hujan"

Tak diragukan lagi, sudah menjadi hukum bagi siapa saja yang tidak sanggup melaksanakan titah Baginda, maka ia akan mendapat hukuman.
Baginda mengetahui bahwa Abu Nawas sangat takut akan beruang.
Maka dari itu Baginda mengajaknya berburu di hutan untuk mengkap beruang, dan Abu Nawas tak bisa menolaknya.

Dalam perjalanan menuju ke hutan, tiba-tiba cuaca yang cerah berubah menjadi mendung,
Baginda memenggil Abu Nawas.

"Tahukah mengapa engkau aku panggil?" tanya Baginda.
"Ampun tuanku, hamba belum tahu." kata Abu Nawas.

"Kau pasti tahu bahwa sebentar lagi akan turun hujan.
Hutan dari sini masih jauh, kau aku beri kuda yang lamban, sedangkan aku dan pengawal-pengawalku akan menunggang kuda yang cepat.
Nanti pada waktu santap siang kita berkumpul di tempat peristirahatanku.
Bila hujan turun kita harus menghindarinya dengan cara kita masing-masing agar pakaian kita tetap kering.
Sekarang kita berpencar." jelas Baginda.

Kemudian Baginda dan rombongan mulai bergerak.
Abu Nawas kini tahu bahwa Baginda akan menjebaknya.
Ia harus mencari akal agar bajunya tidak basah saat hujan turun.
Dan ketika sedang berfikir, tiba-tiba hujan pun turun.

Begitu hujan turun, maka Baginda dan rombongan segera memacu kuda untuk mencapai tempat perlindungan terdekat.
Akan tetapi karena derasnya hujan, Baginda dan para pengawalnya basah kuyup.

Ketika santap siang, Baginda segera menuju tempat peristirahatan, dan ketika itu juga Abu Nawas datang dengan menunggang kuda yang lamban.
Baginda dan para pengawal terperangah karena baju Abu Nawas tidak basah, padahal dengan kuda yang paling cepat pun tidak bisa mencapai tempat perlindungan terdekat.

Nah pada hari yang kedua, Abu Nawas diberi kuda yang cepat yang kemarin ditunggangi oleh Baginda.
Kini Baginda dan para pengawalnya mengendarai kuda-kuda yang lamban.
Setelah Abu Nawas dan rombongan kerajaan berpencar, hujan pun turun seperti kemarin.
Baginda dan pengwalnya langsung basah kuyup karena kuda yang ditunggangi tidak bisa berlari dengan kencang.

Ketika saat bersantap siang tiba, Abu Nawas tiba di tempat peristirahatan lebih dahulu dari Baginda dan pengawalnya.
Abu Nawas menunggu Baginda Raja.
Selang beberapa saat, Baginda dan para pengawal akhirnya datang juga dengan pakaian yang basah kuyup.

Baginda tak sanggup lagi menahan keingintahuan yang selama ini disembunyikan Abu Nawas.
Rahasia apakah yang telah dipakai oleh Abu Nawas.
"Terus terang bagaimana caranya menghindari hujan wahai Abu Nawas?" tanya Baginda.
"Mudah Tuanku yang mulia," jawab Abu Nawas dengan tersenyum.

"Sedangkan aku dengan kuda yang cepat saya tidak sanggup mencapai tempat berteduh terdekat, apalagi dengan kuda yang lamban ini," kata Baginda.
"Hamba sebenarnya tidak melarikan diri dari hujan.
Tetapi begitu hujan turun, maka hamba secepat mungkin melepas pakaian hamba dan segera melipatnya kemudian saya mendudukinya.
Ini hamba lakukan sampai hujan berhenti," jelas Abu Nawas.

Ahaaa rupanya dengan diam-diam Baginda Raja mengakui lagi kecerdikan Abu Nawas.

Seri Kisah Abu Nawas; "Antara Persahabatan dan Keyakinan"

"Abu Nawas...." kata Baginda Raja Harun Al-Rasyid.
"Daulat Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas.
"Aku akan beterus terang kepadamu bahwa kali ini engkau aku panggil bukan untuk kupermainkan atau aku perangkap.
Tetapi aku benar-benar memerlukan bantuanmu." kata Baginda.

"Apakah gerangan yang bisa hamba lakukan untuk paduka?" tanya Abu Nawas.

Pertanyaan Baginda:
"Ketahuilah bahwa beberapa hari yang lalu aku mendapat kunjungan dari negeri sahabat, kebetulan rajanya beragama Yahudi.
Raja itu adalah sahabat karibku hingga begitu berjumpa denganku, dia langsung mengucapkan salam secara Islam.
Aku tidak menduga sama sekali.

Tanpa pikir panjang aku membalas salamnya sesuai dengan ajaran agama kita yaitu kalau mendapat salam dari orang yang tidak beragama Islam hendaklah engkau jawab dengan Wassamualaikum (kecelakaan bagi kamu).
Tentu saja dia merasa tersinggung.
Dia menaynyakan mengapa aku tega membalas salamnya yang penuh doa keselamatan dengan jwaban yang mengandung kecelakaan.

Saat itu sungguh aku tak bisa berkata apa-apa selain diam.
Pertemuanku dengan dia selanjutnya tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Aku berusaha menjelaskan bahwa aku hanya melaksanakan apa yang dianjurkan oleh ajaran Islam, akan tetapi dia tidak bisa menerima penjelasanku.

Aku merasakan bahwa pandangannya terhadap Islam tidak semakin baik, tetapi sebaliknya.
Namun bila engkau mempunyai alasan lain yang bisa aku terima, kita akan tetap bersahabat, begitu kata sahabat karibku itu."

"Kalau hanya itu persoalannya, mungkin hamba bisa memberikan alasan yang dikehendaki Raja sahabat paduka itu yang mulia." kata Abu Nawas meyakinkan Baginda.

Mendengar kesanggupan Abu Nawas, Baginda amat riang dan Raja pun berulang-ulang menepuk pundak Baginda.
Wajah Baginda yang semula gundah gulana seketika itu berubah cerah.

"Cepat katakan wahai Abu Nawas, jangan biarakan aku menunggu." kata Baginda tak sabar.

Jawaban Abu Nawas:
"Baginda yang mulia...memang sepantasnyalah kalau Raja Yahudi itu menghaturkan ucapan salam keselamatan dan kesejahteraan kepada Baginda.
Karena ajaran Islam memang menuju keselamatan dari siksa api nerakan dan kesejahteraan menuju surga.

Bukankah Islam mengajarkan tauhid yang berarti tidak menyekutukan Allah SWT, juga termasuk tidak menganggap Allah mempunyai anak.
Nah ajaran tauhid ini tidak dimiliki oleh agama-agama lain termasuk agama yang dianut Raja Yahudi sahabat paduka itu.

Ajaran agama Yahudi menganggap Uzair adalah anak Allah.
Maha Suci Allah dengan anggapan itu dan tidak pantas Allah mempunyai anak.
Sedangkan orang Islam membalas salam dengan ucapak Wassamualaikum (kecelakaan bagi kamu) bukan berarti mendoakan agar kamu celaka.
Akan tetapi semata-mata karena ketulusan dan kejujuran Islam yang masih bersedia memperingatkan orang lain atas kecelakaan yang akan menimpa bila mereka tetap berpegang teguh pada keyakinan yang keliru."

Seketika itu juga kegundahan Baginda Raja Harun Al-Rasyid sirna.
Kali ini saking gembiranya, Baginda menawarkan agar Abu Nawas memilih sendiri hadiah apa yang disukai.
Namun Abu Nawas tidak memilih apa-apa karena ia berkeyakinan bahwa tak selayaknya ia menerima upah dari ilmu agama yang ia sampaikan,

Mohon maaf untuk yang beragama lain selain Islam.
Semata hanya kisah saja yang dicuplik dari lembaran hadits Rasulullah SAW yang diulas melalui cerita agar lebih mudah dipahami.

Seri Kisah Abu Nawas; "Duluan Mana Ayam dengan Telur...??"

Karena melihat ayam betinanya bertelur, Baginda tersenyum kegirangan.
Baginda memanggil pengawal agar mengumumkan kepada rakyat bahwa kerajaan akan mengadakan sayembara untuk umum.

Sayembara itu adalah berupa pertanyaan yang mudah akan tetapi memerlukan jawaban yang tepat dan masuk akal.
Barang siapa yang bisa menjawab pertanyaan itu, maka akan mendapat imbalan yang sangat menggiurkan, yaitu satu pundi emas.
Akan tetpai bila tidak bisa menjawab maka akan di hukum.

Banyak rakyat yang ingin mengikuti sayembara itu, terutama orang-orang miskin.
Beberapa dari mereka sampai meneteskan air liur karena imbalannya besar.
Mengingat beratnya hukuman yang akan dijatuhkan maka tidak mengherankan apabila pesertanya hanya 4 orang saja.
Dan salah satunya adalah Abu Nawas.


Aturan main sayembara itu ada 2:
1. Jawaban harus masuk akal.
2. Peserta harus mampu menjawab sanggahan dari Baginda sendiri.

Pada hari yang telah ditentukan, peserta sudah siap di depan panggung.
Baginda duduk di atas panggung dan memanggil peserta pertama.

Peserta Pertama.
Baginda bertanya,
"Manakah yang lebih dahulu, telur atau ayam?"
"Telur." jawab peserta pertama.
"Apa alasannya?" tanya Baginda.
"Bila ayam lebih dahulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur." jelas peserta pertama.
"Kalau begitu siapa yang mengerami telur itu?" sanggah Baginda.

Peserta pertama pucat pasi tak mampu menjawabnya.
Wajahnya mendadak berubah putih seperti kapas.
Ia tidak bisa menjawab.
Tanpa ampun lagi ia dimasukkan ke dalam penjara.

Peserta Kedua.
"Manakah yang lebih dahulu, telur atau ayam?" tanya Baginda.
"Paduka yang mulia, sebenarnya telur dan ayam tercipta dalam waktu yang bersamaan." jawab peserta kedua.
"Bagaimana bisa bersamaan?" tanya Baginda.
"Bila ayam lebih dahulu itu tidak mungkin karena ayam berasal dari telur.
Bila telur lebih dahulu itu juga tidak mungkin karena telur tidak bisa menetas tanpa di erami." jelas peserta kedua.

"Bukankah ayam betina bisa bertelur tanpa ayam jantan?" sanggah Baginda memojokkan.
Peserta kedua ini bingung menjawabnya dan akhirnya dijebloskan juga ke penjara.

Peserta Ketiga.
"Manakah yang lebih dahulu, telur atau ayam?" tanya Baginda.
"Tuanku yang mulia, sebenarnya ayam tercipta lebih dahulu daripada telur." jawab peserta ketiga.
"Sebutkan alasanmu." kata Baginda.
"Menurut hamba, yang pertama tercipta adalah ayam betina." kata peserta ketiga meyakinkan.

"Lalu bagaimana ayam betina bisa beranak-pinak seperti sekarang, sedangkan ayam jantan tidak ada." kata Baginda memancing.
"Ayam betina bisa bertelur tanpa ayam jantan, telurnya di erami sendiri.
Lalu menetas dan menurunkan anak ayam jantan.
Kemudian menjadi ayam jantan dewasa dan mengawini induknya sendiri." jelas peserta ketiga.

"Bagaimana bila ayam betina mati sebelum ayam jantan yang sudah dewasa sempat mengawininya?" sanggah Baginda.
Peserta ketiga pun tidak mampu menjawab sanggahan dari baginda.
Ia pun dijebloskan ke dalam penjara.

Peserta Keempat.
Kini tiba giliran peserta yang terakhir, yaitu Abu Nawas.
"Manakah yang lebih dahulu, telur atau ayam?" tanya Baginda.
"Yang pasti adalah telur dulu, baru ayam." jawab Abu Nawas.
"Coba terangkan alasanmu secara logis." kata Baginda ingin tahu.
"Ayam bisa mengenal telur, sedangkan sebaliknya telur tidak bisa mengenal ayam." jelas Abu Nawas.

Baginda hanya bisa geleng-geleng saja denga jawaban Abu Nawas ini sambil berfikir kok bisa jawabannya kenal mengenal..
Kali ini Baginda tidak menyanggah alasan Abu Nawas.

Seri Kisah Abu Nawas; "Kaya tanpa bekerja...!!???"

Sekilas Rumah Tangga Abu Nawas.
Kehidupan Abu Nawas memang tak seberuntung kawan-kawannya yang lain ataupun para saudagar yang pernah ditemuinya.

Abu Nawas hidup dalam rumah yang sangat sederhana dan tidak memiliki harta benda yang melimpah ruah.
Walau pun begitu Abu Nawas selalu ikhlas dan mampu melewati setiap rintangan yang dijumpai dalam kehidupannya.

Abu Nawas tinggal serumah bersama dengan seorang istri.
Abu Nawas dapat pula meyakinkan istrinya bahwa akan selalu ada jalan bagi mereka yang ikhlas menjalani rintangan yang diberikan Allah SWT.

BERDOA.
Suatu hari istri Abu Nawas mengeluh atas kehidupan yang dijalaninya.
Dirinya mengaku tak kuasa lagi dengan beban hidup yang ditanggungnya.

Istri Abu Nawas mengeluh karena suaminya tak memiliki penghasilan sehingga tak mampu memberinya nafkah.

"Suamiku, kapan kau berikan sebuah gaun indah.
Hidupmu hanya kau habiskan untuk berdoa saja," ucap istri Abu Nawas.
"Tapi semuanya kulakukan dengan ikhlas hanya untuk mendapatkan ridha Allah SWT," jawab Abu Nawas.
"Kalau begitu, mintalah upah kepada Allah SWT," sahut istri Abu Nawas.

Seketika itu juga, Abu Nawas langsung pergi ke pekarangan rumahnya.
Dengan berbekal alat peribadatan yang lengkap, Abu Nawas mulai bersujud untuk menyampaikan permohonan-permohonannya kepada Allah SWT.

"Ya Allah, berilah hamba upah seratus keping perak!" ujar Abu Nawas dengan suara lantang dan dilakukannya berulang-ulang.

Rupanya suara Abu Nawas terdengar oleh salah seorang tetangganya yang sedang beristirahat di depan rumah.
Tak lama kemudian, tetangga Abu Nawas memiliki keinginan untuk berbuat usil dengan melemparkan seratus keping perak ke kepala Abu Nawas.

"Ya Allah, berilah hamba upah seratus keping perak!" teriak Abu Nawas untuk kesekian kalinya dan diikuti sebuah koin seratus perak jatuh tepat di atas kepalanya.
Abu Nawas yang terkejut, langsung lari ke dalam rumah sambil membawa uang yang baru saja di dapatkan kepada istrinya.

"Istriku, aku memang wali Allah dan aku baru saja mendapatkan upah dari Allah SWT," tutur Abu Nawas.
Tapi tetangga Abu Nawas tadi tidak terima kalau uang yang dilemparkannya tadi menjadi milik Abu Nawas.

Oleh karena itu, pintu rumah Abu Nawas langsung digedor oleh tetangganya tadi.
"Hai Abu Nawas, kembalikan uang yang baru saja aku lemparkan tadi.
Itu milikku!" ucap tetangga itu.

MENANG DALAM SIDANG.
"Bagaimana mungkin uang itu milikmu.
Aku memohon kepada Allah dan uang yang jatuh itu pasti jawaban dari Allah," jawab Abu Nawas.

Tetangga yang usil tadi tidak terima dan mengajak Abu Nawas agar diselesaikan dipengadilan.
Tak lama kemudian mereka sudah di pengadilan dan menjalani sidang.

"Apa pembelaanmu wahai Abu Nawas?" tanya Hakim.
"Tetangga saya ini gila Tuan Hakim.
Ia pikir semua yang ada di dunia ini adalah miliknya.
Coba saja tanyakan misalnya jubah saya, kuda saya, tentu semua diakui sebagai miliknya," jawab Abu Nawas.

"Tapi itu semua memang milikku!" teriak tetangganya yang kaget akan pernyataan Abu Nawas tersebut.

Bagi sang hakim, bukti-bukti yang diterimanya sudah cukup untuk memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah.
Hakim memutuskan bahwa Abu Nawas menang dan uang yang jatuh di kepalanya menjadi miliknya.